Satu Jam di Kamar Mandi dengan Alexander Hamilton

Aurelia Vizal
8 min readNov 3, 2019

Sebagai penggemar sejarah Amerika Serikat, nama Hamilton kerap mondar-mandir di beberapa jurnal atau buku yang saya baca. Tapi tidak ada yang pernah membuat saya tertarik untuk menelaah tentang hidup atau kontribusinya lebih mendalam. Namanya, menurutku dulu, hanyalah nama yang terselip diantara nama-nama para Founding Fathers.

Sampai di suatu siang yang terik, saya memutuskan untuk mandi sepulang sekolah. Matahari sedang giat menghapuskan lagi sisa-sisa kesegaran di tubuh yang baru diguyur air dingin. Ck. Decak Aurelia Vizal waktu itu. Baru saja kelar mandi, saya kepanasan lagi, rasa gerah dan lembab mengganggu waktu santai hingga saya yang merasa lepek langsung mengambil handuk gambar Liverpool — dibeli saat era-era baru menjadi Kopites fanatik sehabis nonton film Will, sambil menghentakkan kaki sebal (bayangkan saja hentak-hentak imut gitu, walau kenyataannya lebih ke arah menjengkelkan), saya masuk lagi ke kamar mandi, kuncir rambut lagi, nyalain playlist lagi (waktu itu masih belum sanggup bayar Spotify, masih diinterupsi iklan bersuara perempuan nyebelin, jadi buka YouTube untuk menikmati lagu).

Dengan tubuh setengah basah, saya memilih dengan seksama, “Hmmm… Dengerin lagu apa ya buat mandi kedua ini?”, hingga akhirnya saya mencari di kolom pencarian ‘Broadway songs playlist’, waktu itu saya baru menaruh kesukaan di dunia teater musikal, lalu di-shuffle.

Lagu pertama, guyuran air pertama. Hm, iya Cell Block Tango asyik, lalu yang membuat saya ingin menggulingkan kekuasaan dan membangun barikade aka lagu-lagu Les Misèrables, disusul lagu-lagu musikal lainnya yang bisa saya nyanyikan saat mandi. Hingga fitur shuffle membawa saya ke soundtrack Hamilton. “How does a bastard, orphan son of a whore and a Scotsman, dropped in the middle of a forgotten spot in the Caribbean. By providence, impoverished, in squalor, grow up to be a hero and a scholar?”,

Begitu lah pembukaan lagu utama dari teater musikal Hamilton yang ditulis oleh Lin-Manuel Miranda; yang memainkan peran Alexander Hamilton itu sendiri. Saya mendengarkan syair per syair lagu tersebut dengan seksama. Tahu apa yang terjadi jika kita memegang ponsel dengan akses internet cepat, kamar mandi lembab, juga dengan dudukan kloset yang pewe? Jadi zona nyaman. Hehe. Saya jadi nongkrong di kamar mandi. Terlampau nyaman.

Kali ini saya duduk di kloset dengan ponsel, bukan membaca penjelasan dan komposisi sampo seperti biasanya. Untuk menuntaskan rasa penasaran, saya langsung mencari tahu tentang Hamilton dan musikal ini.

Hamilton, An American Musical pertama kali ditampulkan di The Public Theater di New York. Dengan kesuksesan komersil, penulisnya, Lin Manuel-Miranda meraih penghargaan Pulitzer dan memenangkan beberapa nominasi Tony Awards.

Alexander Hamilton, salah satu Founding Fathers Amerika Serikat. Lahir pada January 11, 1755 atau 1757 (tidak ada yang tahu pasti, kecuali ibunya sendiri). Hamilton sendiri menganggap ia lahir pada tahun 1757, tetapi sejak ditemukan laporan dari Karibia oleh para ahli pada tahun 1930, tahun kelahirannya menjadi perdebatan. Ia lahir diluar nikah, tentu hal ini adalah hal yang tidak lumrah pada pertengahan abad ke-18. Banyak spekulasi mengenai orang tuanya, termasuk jika ibunya adalah seorang ras campuran, walau dalam catatan pajak ia tercatat sebagai kulit putih, yang mana hal berkenaan dengan ras juga merupakan huge deal di zamannya.

4 tahun lalu Kementerian Keuangan Amerika Serikat atau USDT mengumumkan akan mengganti desain pecahan uang 10$ yang semula berwajah Alexander Hamilton. Berkat popularitas musikal ini, rencana tersebut ditarik kembali dan akhirnya malah mengganti wajah Andrew Jackson yang sudah terpampang wajahnya disana sejak 1928 dengan Harriet Tubman untuk pecahan uang 20$.

Waktu itu sedang diadakan kampanye bernama “Women on 20s” untuk merayakan seratus tahun 19th Amandement yang memberikan hak suara kepada perempuan dengan tujuan, ada wajah perempuan untuk pecahan uang dollar pada tahun 2020 nanti. Beberapa kandidat figur perempuan yang terpilih antara lain, Eleanor Roosevelt, Rosa Parks, Wilma Mankiller, dan Harriet Tubman. Harriet memenangkan pemilihan dengan jumlah suara 118,000 dari 600,000.

Hingga sekarang, produksi uang berwajah Harriet Tubman masih mengalami sejumlah kendala dan dikatakan akan mandet sampai 2028. Banyak pihak yang kecewa, setidaknya, menurut mereka, pemerintah harus membocorkan desain 20$ dengan wajah Hariett yang terbaru untuk perayaan secara simbolis untuk 2020 kelak.

Kembali ke Hamilton, ia terkenal karena duelnya dengan Aaron Burr yang menyebabkan ia mati tertembak — dimana kejadian ini juga turut meramaikan musikal Hamilton. Uniknya musikal ini adalah, meski melatar belakangi peristiwa sejarah, Lin-Manuel Miranda tak segan-segan memasukkan unsur hiphop ke dalamnya. Lucunya, ia dan Burr dulu sama-sama menyelesaikan pengadilan pembunuhan pertama di yang tercatat di Amerika Serikat.

Tapi dengan segala kekerenan Hamilton yang ditonjolkan di teater musikal tersebut dan membuat saya tertarik untuk mempelajari Amerika Serikat yang masih orok waktu itu, Hamilton turut berkontribusi untuk beberapa hal yang, hm, jadi gini…

Presiden Absolut

Pada suatu konvensi, Hamilton mengusulkan presiden permanen yang akan menunjuk semua petinggi negara, berkuasa seumur hidup, dan memiliki hak veto atas semua undang-undang negara. Jadi, presiden ada diatas hukum. Bukan sebaliknya. Mungkin fase ini di Indonesia kita kenal dalam rezim Soekarno sebagai Demokrasi Terpimpin (kuddos to pelajaran PPKN waktu sekolah) pada tahun 1959 — 1966, dimana kekuasaan tertinggi di tangan presiden. Di dalam sistem ini juga Soekarno mengambil banyak inspirasi dari centralized planning ala negara-negara Komunis pada waktu itu. Nah, Hamilton menginginkan skema perencanaan terpusat ini dan keseragaman nasional supaya konsepnya ini dapat berjalan dengan baik.

Merkantilisme dan Wiski

Hamilton, dengan segala kebijakan intervensionisnya, tarrif proteksionis, corporate welfare, bank sentral, utang tinggi, selalu mengadvokasi sistem merkantilisme ala Inggris dan kerajaan-kerajaan Big Three kala itu (Inggris, Spanyol, dan Prancis). Thomas Jefferson — presiden AS ketiga mengatakan bahwa skema yang dikenalkan Hamilton hanyalah sistem korup pemerintahan Inggris yang ia bawa untuk diterapkan di AS. Tentu saja, Jefferson paling senang bercerita tentang ujaran Hamilton saat makan malam di rumahnya, kalau Hamilton pernah bilang bahwa pria paling hebat sepanjang masa adalah Julius Caesar. Memang dua orang ini tidak pernah akur. Bahkan John Adams mengakui, tidak pernah ada persetujuan diantara Hamilton dan Jefferson. Mungkin jika mereka masih hidup sekarang, satu-satunya yang bisa mereka sepakati adalah, “Aaron Burr bangsat!”. Oh, ada juga adegan rap battle Hamilton vs. Jefferson di musikal ini.

Bank of the United States yang ia buat terinspirasi dari Bank of England dan menuai kontroversi di awal pendiriannya. Banyak politisi AS yang masih anti dengan semua yang berbau Inggris sehingga penentang Hamilton bisa dibilang cukup ramai saat itu.

Ia membuat larangan impor dan pembatasan ekspor untuk bahan baku penting yang strategis. Tetapi, ia juga mendukung perlindungan paten untuk penemuan, regulasi produk, dan investasi dalam infrastruktur.

Sembari menyemprot asal dinding-dinding kamar mandi, saya lanjut menyeret jempol di layar ponsel. Sebagai Menkeu pertama di republik yang baru berdiri, tentu saja mereka sangat membutuhkan uang. Target pajak pertama yang disasar Hamilton adalah wiski. Kebijakan ini mengundang keributan dan berujung pada The Whiskey Rebellion yang berlangsung selama tiga tahun. Bagaimana tidak, wiski sering digunakan sebagai alat barter. Terlebih untuk yang menetap di bagian selatan AS, markas-markas koboi seperti yang ditunjukan dalam film-film Sergio Leone, dengan scoring apik oleh Ennio Morricone, spaghetti western music. Pemajakan wiski memberatkan orang miskin, sedangkan orang-orang kaya yang memiliki saham di bank melihat nilai sahamnya melonjak naik.

Hamilton menyuarakan kepentingan adanya militer yang kuat, bukan karena ketakutan akan invasi Perancis atau Inggris, tetapi karena dia melihat cara opresi ala monarki Eropa yang menggunakan pasukan untuk mengintimidasi warga mereka sendiri untuk pengumpulan pajak terbukti efektif. Hamilton secara pribadi memimpin sekitar 15.000 wajib militer ke Pennsylvania untuk mencoba meredakan The Whiskey Rebellion. Dia mengumpulkan dua lusin pengunjuk rasa tentang pajak wiski ini yang masing-masing ingin ia hukum mati dengan cara gantung. Tapi akhirnya gak jadi, karena semua pengunjuk rasa diampuni oleh George Washington.

Kendati demikian, Hamilton seorang Abolisionis.

Ia percaya perbudakan harus dihapuskan. Begitu pendirian pribadi yang ia ungkapkan. Beberapa ahli sejarah berpendapat bahwa Hamilton bersimpati lebih terhadap para budak karena ia lahir di Pulau Nevis, tepatnya di Charlestown. Tapi, ia menikahi seorang perempuan dari keluarga yang memiliki budak dan membantu transaksi pembayaran dan pengiriman budak. Banyak orang yang masih mempertanyakan konsistensi Hamilton dalam isu perbudakan ini.

Dengan anggapan bahwa Hamilton seorang abolisionis, kalau ia menonton musikal tentang dirinya ini, mungkin ia akan tersenyum bangga atau terenyuh melihat banyak tokoh-tokoh terdekatnya dahulu dimainkan kembali oleh aktor dari ras yang berbeda-beda, bahkan untuk tokoh krusial seperti George Washington, Aaron Burr, Thomas Jefferson, dan ipar perempuannya, Angelica yang diperankan oleh aktor Afrika-Amerika.

Skandal Seks pertama di AS

Setelah banyaknya desas-desus tentang perselingkuhannya, Hamilton yang sudah menikah dengan Elizabeth Schuyler, menyebarkan pamflet yang menjelaskan secara detil tentang perselingkuhannya sendiri. Pamflet tersebut kemudian dikenal sebagai The Reynolds Pamphlet, diambil dari nama sang pelakor — Maria Reynolds. Pamflet tersebut terdiri dari 37 halaman ditambah 58 halaman untuk dokumen tambahan, disana ia menjelaskan dan mengakui perselingkuhan tersebut. Secara singkat tl;dr dari pamflet tersebut bisa saya rangkum sebagai, “Ya, ya, ya… Gua emang selingkuh, puas lo? Tempat selingkuhnya biasa di rumah gue, puas lo? Tapi, gua ga korupsi ya. Inget.”

Mungkin jika saat itu ponsel atau internet sudah ada, Hamilton tidak perlu menyebarkan pamflet berpuluh-puluh halaman. Ia bisa dengan mudah bikin thread di akun Twitter-nya dengan judul ‘The truth about my affairs… [a thread]” atau membuat video klarifikasi ala Indy dan Rakry ‘Alasan Kita Putus’, alternatif lain mungkin mengirim pesan ke Lambe Turah untuk memberikan pembelaan.

Beberapa menganggapnya bapak dari Liberalisme di AS, sedangkan Jefferson untuk Konservatif. Tetapi abad ke-18 dan awal abad ke-19 adalah waktu yang sangat lama, nilai-nilai yang dipegang suatu figur dengan label ideologi tertentu bisa bertolak belakang dengan yang kita pahami sekarang. Untuk urusan agama dan pendiriannya terhadap kepentingan gereja di negara, Hamilton adalah konservatif di ranah tersebut. Ia adalah seorang Kristen taat. Di sisi lain, Jefferson yang dicap sebagai forefather dari Konservatisme AS yang biasa akrab dengan lembaga gereja, justru adalah seorang non-believer atau Ateis. Ia yang mempopulerkan ‘pemisahan gereja (atau institusi keagamaan lainnya) dengan negara’. Kendati demikian, ia mengagumi Yesus Kristus- bukan sebagai juru selamat atau sosok keagamaan, melainkan filsuf moral yang ajarannya banyak disabotase oleh penulis-penulis biografinya.

Banyak sekali kontradiksi dan hal yang membuat kita tercengang saat menelaah kehidupan figur sejarah yang kita kenal. Begitu banyak hal yang bisa diteladani, banyak pula yang membuat kita berdecak sendiri.

Seperti kalimat nasihat klise saat kita curhat ke teman, ambil yang baik, buang yang buruk.

Sudah satu jam berlalu. Waktunya saya beranjak, semprot dubur- walau tidak ada yang saya keluarkan, mengisi kembali daya ponsel yang baterainya mulai habis, kembali terkoneksi dengan WiFi rumah setelah sebelumnya rela merelakan kuota 4.5GB perbulan saya untuk browsing di kamar mandi, dan kembali menonton mukbang di YouTube.

Demikian kalimat penutup untuk tulisan saya kali ini. Jangan lupa untuk mendengarkan soundtrack dari musikal Hamilton! Nanti coba kasih tahu favorit kalian yang mana ya~ Good bye, au revoir, adios!

Salam dari Eliza, Angelica, dan Peggy.

--

--