Mobilisasi Massa dalam Sayap Kanan dan Kiri

Aurelia Vizal
3 min readApr 25, 2019

--

Main tebak-tebakan, yuk! Apa persamaan dari Hitler, Mussolini, Che Guevara, dan Fidel Castro? Ya, jawabannya adalah, mereka sama-sama memiliki kemampuan orasi yang baik. Semua propaganda dan kunci terbesar di balik kesuksesan para tokoh ini dalam menyebarluaskan idenya adalah dengan orasi-orasinya yang menggebu-gebu.

Kenapa bisa sama? Padahal di satu sisi, beberapa tokoh tersebut berdiri pada kompas politik kanan jauh, dan sisanya adalah kiri jauh. Apa yang membuat mereka sama-sama membutuhkan figur seorang orator?

Pertama, menaikkan sentimen terhadap kelompok lain dan pentingnya menggunakan mazhab Utilitarianisme.

Guna memainkan sentimen suatu kondisi masyarakat yang terpuruk atau merasa tertindas, dibutuhkan organisasi massa yang baik. Sasaran propaganda petinggi partai komunis yang pertama mungkin serikat buruh, dan untuk para Ultra-Nasionalis langsung menyasar kelompok dengan identitas etnis, suku bangsa, atau agama tertentu.

Bagaimana cara memainkan momentum seperti ini? Yaitu melazimkan kebencian, kekerasan, diskriminasi, genosida dalam nama kemanusiaan suatu kelompok tertentu. For the greater good. Seperti Thanos yang selain seorang yang memegang teguh ide-ide Malthus, ia juga seorang Utilitarian, dimana excuse-nya untuk membunuh adalah untuk kehidupan yang lebih baik. Seorang pemimpin Komunis dan Ultra-Nasionalis akan menanamkan ide bahwa persekusi kelompok tertentu diperbolehkan, karena akan memberikan hasil yang lebih baik untuk kelompok mereka sendiri.

Kedua, menyalahkan kelompok tertentu sebagai penyebab kemiskinan, cultural genocide, mengancam keberadaan kelompok mereka, dan lain-lain.

Baik alt-right maupun alt-left sama-sama memiliki kambing hitam dalam hidupnya. Seorang pekerja buruh akan terpancing emosinya mendengar seruan-seruan bahwa selama ini ia ditindas oleh sistem ekonomi Kapitalis — dan manusia, sebagai makhluk yang gemar mencari pattern dan menghubungkan segala sesuatu, mulai berpikir bahwa, “Wah, iya.. Selama ini saya bekerja tetapi kehidupan saya masih saja sulit, semua ini salah orang-orang kaya”. Otak kita akan terprogram dengan sendirinya untuk memilah beberapa hal dan memberi konklusi bahwa, ya, pasti ini penyebab kemelaratan.

Seorang pria berkulit putih yang seumur hidupnya dicekoki dengan betapa unggulnya ras dan etnis yang ia miliki, akan terpancing emosinya apabila orator menyebutkan bahwa keunggulan dan supremasi rasnya terancam oleh ras lain. Kelompok ini, yang banyak diisi oleh orang-orang konservatif, merasa bahwa pergeseran status quo-nya dalam suatu wilayah atau lingkungan masyarakat akan sangat menaikkan sentimen mereka. Jika menurut para kiri jauh; semua harus dipaksakan masuk dan muat ke ranjang Prokrustean mereka dalam sisi sosial maupun ekonomi, menurut para kanan jauh, perbedaan akan selalu ada, kelas akan selalu ada, dan mereka akan memaksa kelompok diluarnya untuk berada di bawah mereka.

Kesimpulannya, baik kanan maupun kiri, koersi adalah kunci.

Ketiga, sadarkah kalian bahwa kebanyakan pemimpin revolusi dalam sejarah modern adalah orang-orang yang sebenarnya sudah memiliki jabatan lumayan penting dan menginginkan lebih. Dibanding seseorang yang memang berasal dari kelompok yang hendak dimobilisasi. Entah jika para petinggi kedua kelompok ini benar-benar menganut ideologi yang mereka sebarkan, atau hanya sekadar kebutuhan komunikasi politik saja untuk meraih kekuasaan.

Sejauh apapun dunia kita sudah berubah, dimana ide-ide dan tindakan yang pernah dilakukan oleh leluhur kita pada zaman dahulu sudah tidak sesuai dengan standar moral kita, dan dikelilingi opini-opini yang membuat segalanya menjadi ‘safe and sound’, jangankan kekerasan secara fisik, di dunia kita sekarang, menyinggung perasaan seseorang dianggap kejahatan, dan meskipun kita sudah lelah mendengarkan keluhan orang tua soal moral zaman sekarang hanya karena melihat unggahan swafoto remaja menggunakan pakaian minim, dunia kita tidak akan pernah benar-benar berubah.

Manusia terprogram untuk tidak pernah puas akan keadaannya kini dan mendambakan sebuah utopia. Selain agama, kepercayaan, dan mitos, para orator revolusi, sebagai pharaoh ideologi mereka, juga dianggap krusial sebagai esensi Homo sapiens sapiens yang selalu membutuhkan bumbu fiksi untuk dapat menjalani hari-harinya, sebagai jaminan dalam perjalanan survival manusia sebagai makhluk hidup,

“Semua akan baik-baik saja, kelompokmu akan baik-baik saja, kelompok dari luar lembah tidak akan mengganggumu. Kita harus bertahan karena di sana ada dunia yang kita dambakan”,

kalimat ini terus bergema, dari era berburu, abad pertengahan, era-era tensi politik yang terjadi di hampir seluruh dunia, dan akan terdengar hingga kapanpun.

--

--

Aurelia Vizal
Aurelia Vizal

No responses yet