Mengunjungi Diogenes, Anastasia Romanov, dan Descartes
Antara membaur di keramaian atau menyendiri dengan bising di kepala sendiri, aku suka keduanya. Hobiku, jalan kaki sendiri. Selain kegemaranku akan sensasi berkeringat, kaki keram, kening yang tidak pernah kering, deru mesin kendaraan, helaan napasku sendiri yang sesekali terdengar, aku juga suka melihat orang-orang dan membuat skenario tentang mereka di kepala.
Aku suka sekali dengan manusia. Memang terdengar aneh. Kadang aku memisahkan diri dari spesies Sapiens, menganggap diriku sebagai pengamat dari luar angkasa, menatap takjub manusia dan segala perangainya. Untuk melarikan diri dari manusia-manusia yang sudah ku kenal tabiatnya, bohong-bohongnya, cerita hidupnya, dan hal-hal tentangnya yang tidak memberikanku ruang untuk menciptakan skenario baru di kepalaku, aku lebih suka bertemu orang-orang baru di jalanan, memberikan mereka nama dan cerita.
Setidaknya aku tahu, dari sekian banyak cerita yang ku karang di kepalaku tentang mereka, aku tidak akan kecewa apabila kenyataannya berbalik. Lain lagi jika aku menulis kisah terhadap orang-orang disekitar. Entah berapa kali aku kecewa akan ekspetasiku sendiri. Bukan salahmu, kok. Aku yang terlalu banyak mengarang cerita menggunakan nama dan identitas pribadimu sebagai karakter utama. Mulai dari laki-laki yang memanggilku dengan nama-nama buatan mereka seperti Alina, Arini, Ayla, Olia, Aulia, dan lainnya, kalian selalu berbanding terbalik dengan apa yang kupikirkan. Selalu berakhir menjadi cerita pendek dengan akhir yang gantung.
Aku suka sekali memberi nama kepada orang-orang di jalan. Tapi, kalau dipikir-pikir, satu-satunya nama yang pernah kubuat untuk manusia lain selain-orang-di-jalan hanya sesederhana, Beben. Diantara semua kitab pewayangan, nama-nama filosofis, mitologi dan epos yang keren, aku memberinya nama Beben. Tidak tahu. Lucu saja. Wajahnya tidak cocok menyandang nama Niskala Wastu Kencana, Prabu Nilakendra, atau Edwin Thomas Booth. Ia hanya seorang Beben. Benar saja, cerita yang baru kurangkai atas dasar nama Beben ternyata juga diruntuhkan oleh kenyataan bahwa, ia bukan Beben. Hingga terkadang aku berpikir, apa aku menyukai seseorang karena aku benar-benar menyukainya, atau karena proyeksi dirinya yang aku buat sendiri di kepala?
Sebenarnya cerita ini adalah salah satu cerita yang kukumpulkan untuk diceritakan ke cucu-cucuku kelak, sembari menyantap Buchteln hangat dan empuk yang kubuat, secangkir teh, dan ruang tamu ala jompoku yang berbau kayu manis. Aneh. Dulu aku selalu ingin mati muda. Sekarang puluhan abad pun tidak akan cukup untuk mencintai apa yang belum kucintai sekarang (tapi aku yakin, aku akan). Ya sudah, hari ini kalian semua cucuku.
Waktu itu, pertengahan tahun 2016. Jam tiga atau lewat sedikit, matahari sedang bangsat-bangsatnya memaksa dahiku mengernyit. Tangan kananku memegang plastik bening berisi es teh manis yang sudah berganti wadah ke perutku, kini sisa bongkahan kecil es batu yang gigitable untuk ku. Seperti sabtu-sabtu lainnya, aku melangkahkan kaki di Cikini, tapi kali ini aku menyempatkan diri untuk melihat lebih lama tukang koran, barista, tukang parkir, tukang roti, dan turis gendong (turis yang memakai ransel dan berlalu-lalang di stasiun, khususnya Stasiun Gambir).
Aku membuka ritsleting ranselku dan mengeluarkan buku bacaan yang kutekuk untuk dijadikan kipas. Sambil aku menikmati angin kipasan yang sebenarnya tidak berpengaruh banyak untuk titik-titik keringat yang mulai muncul di hidung dan atas bibirku, aku menggigit es batu sisa seraya menatap ke arah jalanan. Tak lama berselang, ada pedagang asongan paruh baya yang menyebrang dari arah Menteng Huis, ia menghempaskan bokongnya di depan Bakoel Koffie, melepas topi dan mengipas kedua ketiaknya. Matahari masih mengintip dari sela-sela bayangan pohon, sinarnya masih membuat matanya menyipit.
Aku mendekat ke arah si bapak tua, sengaja memperlambat langkahku, barangkali aku bisa menghalau terik matahari sebentar dari kulit keriputnya. Sampai aku berhenti di depannya, memastikan tubuhku menutup sinarnya, lalu aku merogoh tas untuk membeli permen Kopiko yang ia jual. Tetapi tiba-tiba ia membentak, “Woi, moy, jangan berdiri depan saya dong, ngalangin matahari aja, ah..”, sehabis bermaaf-maafan ala Ramadhan dan berjalan menjauh darinya dengan kikuk, aku terpikir akan satu nama. Nama imajinerku untuk si bapak tua. Diogenes. Seperti Diogenes dari Sinope.
Ceritanya, Alexander Agung datang untuk mengunjungi filsuf Yunani Diogenes dari Sinope. Alexander ingin memenuhi permintaan Diogenes dan menanyakan apa yang diinginkannya. Menurut versi yang diceritakan oleh Diogenes Laërtius, Diogenes menjawab “Jangan menghalangi matahariku.”
Setelah terpikir akan Diogenes, aku menoleh lagi ke belakang, ke arah si bapak tua. Kali ini punggungku sudah menempel pada kaca kafe lain di Cikini Raya. Si Bapak Diogenes menghitung uang hasil dagangannya hari ini, hari mulai sore dan matahari yang semakin jingga menempel di wajahnya, ia cekatan sekali dalam menghitung uang. Mirip gaya-gaya bankir. Ayah Diogenes adalah seorang bankir, dan mungkin Diogenes juga, mengingat tidak terlalu banyak catatan tentang kehidupannya. Oke, mungkin aku yang mulai bias dalam menilai semua gerak-geriknya sebagai Diogenes-nya Cikini. Tapi, setelah ia melipat uang ke saku rompinya, seorang teman datang- dari pakaiannya, mungkin tukang parkir di sekitar sini, ia menepuk pundak Bapak Diogenes, “Nanti salat dimana? Bareng ga?”, tanya kang parkir. Sontak si bapak menjawab, “Engga, ga usah. Duluan aja, gua sendiri”, oh, rupanya Bapak Diogenes trauma ditinggal Manes sewaktu ia datang ke Athena, Manes meninggalkannya waktu mereka sudah sampai di kota itu. Diogenes (yang asli) juga pernah berkata, “Jika Manes bisa hidup tanpa Diogenes, Diogenes juga bisa hidup tanpa Manes!”.
Rasa keterkaitan dan ketergantungan menurut Diogenes, akan membuatnya tak berdaya. Dan ia akan mengejek semua bentuk relasi yang memiliki ketergantungan ekstrem.
Aku pun melanjutkan jalanku dengan senang, mengingat aku baru saja bertemu filsuf aliran Sinisme hari ini.
Waktu berjalan, setelah kurang lebih satu tahun setelah kejadian itu, aku sudah berusia 16 tahun. Di akhir 2017 yang lucu, aku kira aku sudah mulai matang dalam berpikir dan bertindak. Umur 16 adalah umur yang aneh. Di satu sisi aku ingin seperti Molly Ringwald di film Sixteen Candles yang dijemput pria tampan dengan mobil warna merah, di satu sisi aku selalu mengklaim diri sebagai adik seperguruan Soe Hok Gie. Bukan hanya karena kita sama-sama pernah menentang guru yang memaparkan informasi yang salah, semua kecintaan Gie adalah kecintaanku juga. Kata seorang teman, “mungkin karena sama-sama Cina”. Dulu cita-citaku adalah mati seperti dia, di tempat yang kucintai dan berumur muda. Kalau ia lahir saat Perang Pasifik pecah, aku lahir saat Perang Afganistan pada Oktober 2001.
Gie bilang generasinya harus lebih baik karena orang tua yang memiliki kursi di pemerintahan adalah orang-orang yang dibesarkan di era kolonial, eranya bisa menjadi pembaharuan.
Kalau aku, generasiku harus bisa jadi tonggak reformasi dan pembaharuan karena orang tua yang duduk di pemerintahan adalah orang-orang yang dibesarkan di era Orde Baru.
Saat aku menentang guruku saat SMP karena beliau salah menyebut tanggal sejarah, entry diary Gie yang sedang kubaca di rumah adalah saat ia menentang guru Bahasa Indonesia-nya. Kita mirip, kan? Selain Soe Hok Gie, aku juga sering mengaku-aku sebagai sahabat beda abad dari Anastasia Nikolaevna dari Russia yang lahir seratus tahun lebih dulu, 1901. Dulu, aku selalu menganggap Anya dan adiknya, Alyosha alias Tsarevich Alexei sebagai teman imajiner. Dulu aku juga sempat mengagumi Alyosha yang tampan. Tak terasa waktu berlalu, aku terus bertumbuh lebih besar daripada dia. Rasa afeksi Philia yang pernah tumbuh, berganti menjadi Storge, dimana aku mencintainya seperti adikku sendiri. 2017 memang lucu, seperti yang kusebutkan tadi. Aku hanya punya satu tahun sebelum mereka mati. Rasanya hampa, aku sendiri yang beranjak dewasa, Anya dan Alyosha akan menjadi selamanya muda dan polos. Aku iri.
Di umur ke-16, jujur aku banyak mengandai-andai. Di kelas, aku terus menulis di buku kecilku. Guru matematikaku, Bu Kris selalu menegur karena aku selalu asyik sendiri. Aku memang tidak pernah tertarik pada angka. Tapi aku sendiri malas mengkhayal diluar ruang kelas. Saat sebelum tidur di rumah, waktuku habis untuk mereka-ulang kejadian yang terjadi setiap harinya. Tidak ada waktu untuk berkhayal kecuali di ruang kelas. Buku catatan kecilku kutempel stiker-stiker bertuliskan revolusi, dan slogan pergerakan kiri lainnya. Dulu memang ide-ide progresif kiri sangat menggairahkan di mataku, sebagai seorang remaja yang sedang senang-senangnya masturbasi ideologi. Tetapi tenang saja, tidak sekronis ingin membangkitkan PKI. Pergantian ideologi politikku yang cukup drastis juga terjadi di tahun ini.
Pernah suatu hari setelah pulang sekolah di tahun 2017, aku duduk di kelas SMA 2. Tahun pertama aku menyandang status sebagai anak IPS. Aku menyempatkan diri untuk berjalan kaki di Kota Tua, melihat seniman jalanan menggambar wajah figur-figur dunia yang terkenal. Seniman itu memakai jaket windbreaker hijau yang bagian belakangnya sedikit robek. Pelan aku mengikik, ini kan jaket-jaket yang dijual di thrift shop Instagram. Lalu aku menunduk sedikit untuk melihat detil lukisan si seniman. Malala Yousafzai, tetapi alisnya terlalu tebal, hampir mirip Frida. “Baru balik sekolah, dik?”, tanyanya setelah menoleh, “Iya, pak”, lalu ia manggut-manggut sambil terus menambah guratan pensil ke alis si Malala. “Pak, apa gak ketebelan alisnya?”, aku terlalu gemas untuk tidak bertanya perihal alis. Si seniman jalanan terkekeh sebentar, ia menaruh pensilnya yang ujungnya sudah diikat karet, mengalihkan pegangan tangannya pada rokok yang sudah berusia pendek. Saat itu, aku memotret lukisannya dengan iPhone 5s putih milikku yang sisi kanan-kiri layarnya bisa dibuka menggunakan kelingking. “Kalau lukisan saya bagus dan bener banget, mah, ga bakal saya duduk disini. Saya pasti keterima dong waktu tes gambar ke kuliahan yang saya mau waktu itu?”, ia menukar pertanyaanku tentang alis Malala ke pertanyaan retoris tentang hidupnya. Aku tersenyum, memotret lukisannya lagi, mengucapkan salam, dan melipir pergi.
Sambil aku menyeberang ke arah Museum Bank Indonesia, aku memikirkan sesuatu. Bapak seniman jalanan itu juga ditolak sekolah seni. Seperti Adolf Hitler. Yang sudah tidak perlu ditanyakan lagi tentang kancahnya di buku sejarah kita. Tapi, bagaimana satu bisa tetap menjadi seniman jalanan, sedangkan satunya menjadi ikon iblis dunia modern? Apa yang menentukan hasil dari suatu keputusan?
Jika semua hal sudah terdeterminasi dari jentera-jentera kimiawi yang bekerja otak kita, proses neural, reaksi hormon, dan lain-lain, apakah kita pernah benar-benar bersalah secara moral?
Hewan bertindak sesuai dengan semua yang sudah terprogram, macam automata, seperti yang dikatakan Rene Descartes. Apakah manusia (yang juga hewan) adalah automata dengan ilusi free-will?
Pada tahun 1870, Thomas Henry Huxley melakukan studi kasus pada seorang tentara Prancis yang mengalami tembakan dalam Perang Perancis-Prusia yang mematahkan tulang parietal kirinya. Setiap beberapa minggu, prajurit itu akan memasuki keadaan seperti trance, lalu ia merokok, berpakaian, dan mengarahkan tongkatnya seperti senapan dan tidak peka terhadap kejutan listrik, zat-zat yang berbau, cuka, kebisingan, dan kondisi cahaya tertentu. Huxley menggunakan penelitian ini untuk menunjukkan bahwa kesadaran tidak diperlukan untuk melakukan suatu tindakan, mendukung asumsinya bahwa manusia adalah mesin yang tidak masuk akal. Sikap mekanistik Huxley terhadap tubuh meyakinkannya bahwa hanya otak yang menyebabkan perilaku.
Sejumlah besar penelitian neurofisiologis tampaknya mendukung filsafat epifenomenalisme. Beberapa dari data tertua tersebut adalah Bereitschaftspotential atau “potensi kesiapan” di mana aktivitas listrik yang terkait dengan tindakan sukarela dapat direkam hingga dua detik sebelum subjek sadar membuat keputusan untuk melakukan tindakan tersebut. Baru-baru ini Benjamin Libet menunjukkan bahwa diperlukan 0,5 detik sebelum stimulus menjadi bagian dari pengalaman sadar walaupun subjek dapat merespon stimulus dalam tes waktu reaksi dalam 200 milidetik.
Masih segar di ingatanku, setelah menonton salah satu episode Genius berjudul ‘Why Are We Here’ yang dipandu oleh Stephen Hawking di National Geographic membuatku terjaga semalaman. Terlebih saat mereka membuat eksperimen soal kehendak bebas. Peserta dihadapkan di suatu jarum jam besar dan mereka akan memencet tombol untuk memberhentikan jarum jam tersebut, sesaat sebelum tombol tersebut dipencet, alat pendeteksi sudah dapat memberi tahu kapan mereka memutuskan untuk memencet.
Apapun itu, aku sudah cukup senang dapat hidup dan sadar sebagai Homo sapiens sapiens di abad ke-21.
Mungkin sampai sini dulu bincang kita untuk kali ini, sampai jumpa di malam-malam (lebih tepatnya subuh. Tulisan ini ditulis jam 3 menuju jam 4 dengan selimut yang sampai di dahi) gabut lainnya dimana aku memutuskan untuk menulis.
Hasta la vista, baby.