Kontradiksi Potemkin, Camus, Rand, dan Hidup

Aurelia Vizal
5 min readAug 9, 2019

Pukul 1 dini hari, hari sabtu di awal bulan Agustus 2019. Penulis menyenderkan punggung di tembok kamar tidur sambil berpikir kemana kedua ibu jari gabut ini harus diarahkan. Akhirnya, pilihan jatuh kepada memijit pelipis sendiri yang sedikit berkedut pusing, sembari memikirkan pemikiran kurang penting. Beberapa menit kemudian, kedua ibu jari penulis memutuskan untuk membawa dirinya ke tulisan-tulisan yang belum terselesaikan. Tulisan yang masih buntung, hasil malam-malam sebelumnya yang belum tuntas gelapnya.

Tulisan ini kompilasi dari semua yang berhubungan dengan kontradiksi. Pukul 1 dini hari, jempol ini giat berlari, saat maag mulai kambuh karena pola tidur yang berantakan, krisis eksistensi menyeruak, dan mata kalong semakin nyalang…

Battleship of Potemkin, film bisu hitam-putih karya Sergei Eisenstein yang dibuat pada tahun 1925 membawa penulis untuk mencari tahu lebih banyak tentang Grigory Potemkin, anggota militer Kekaisaran Rusia yang surprisingly seharusnya dibaca Po-tyom-kin. Hoho. Sungguh suguhan fakta yang kurang penting.

Hingga penulis menemukan memoir Austrian Field Marshal Prince de Ligne dimana salah satunya berisi surat darinya, untuk temannya, Philippe de Segùr, untuk mendeskripsikan Potemkin. Ia menulis tentang bagaimana seorang Potemkin adalah kontradiksi untuk dirinya sendiri.

I behold a Commander in Chief who looks idle and is always busy; who has no other desk than his knees, no other comb than his fingers; constantly reclined on his couch, yet sleeping neither in night nor in daytime. A cannon shot, to which he himself is not exposed, disturbs him with the idea that it costs the life of some of his soldiers. Trembling for others, brave himself, alarmed at the approach of danger, frolicsome when it surrounds him, dull in the midst of pleasure, surfeited with everything, easily disgusted, morose, inconstant, a profound philosopher, an able minister, a sublime politician, not revengeful, asking pardon for a pain he has inflicted, quickly repairing an injustice. Thinking he loves God when he fears the Devil; waving one hand to the females that please him, and with the other making the sign of the cross; receiving numberless presents from his sovereign and distributing them immediately to others; preferring prodigality in giving, to regularity in paying; prodigiously rich and not worth a farthing; easily prejudiced in favor of or against anything; talking divinity to his generals and tactics to his bishops; never reading, but pumping everyone with whom he converses. Uncommonly affable or extremely savage, the most attractive or most repulsive of manners; concealing under the appearance of harshness, the greatest benevolence of heart, like a child, wanting to have everything, or, like a great man, knowing how to do without; gnawing his fingers, or apples, or turnips; scolding or laughing; engaged in wantonness or in prayers, summoning twenty aides de camp and saying nothing to any of them, not caring for cold, though he appears unable to exist without furs; always in his shirt without pants, or in rich regimentals; barefoot or in slippers; almost bent double when he is at home, and tall, erect, proud, handsome, noble, majestic when he shows himself to his army like Agamemnon in the midst of the monarchs of Greece. What then is his magic? Genius, natural abilities, an excellent memory, artifice without craft, the art of conquering every heart; much generosity, graciousness, and justice in his rewards; and a consummate knowledge of mankind.

Sebagai seorang manusia, tanpa sadar kita mengambil keputusan atau tindakan yang berlawanan dengan stance terdahulu kita. Entah karena kontradiksi itu inheren dalam kehidupan kita sebagai manusia, sedinamis itu kah kita? Atau ada pertimbangan lain di belakangnya yang tanpa sadar menghasilkan putusan yang kontradiktif? Atau tidak pernah ada sesuatu yang kontradiktif?

Bicara tentang kontradiksi, sebuah kutipan dari Hegel yang penulis-pun-lupa-dikutip-dari-mana tentang kontradiksi organ manusia yang fungsinya untuk mengeluarkan sisa dan juga menciptakan. Mungkin konsep bagusnya seperti Ouroboros, solve et coagula, atau to create is to destroy. Tetapi saat mendengar kutipan Hegel tersebut, penulis membayangkan penis dan vagina. Sebagai organ yang mengeluarkan juga menciptakan.

Albert Camus dalam penjabarannya mengenai hidup dan Absurdisme juga berhadapan dengan kontradiksi. Camus mati-matian menentang bunuh diri, menurutnya, hidup itu tentang berkonfrontasi dengan absurditas dan bunuh diri bukanlah solusi untuk dilemma eksistensial kita. Ia juga menolak segala bentuk ‘tujuan’ dalam hidup. Tetapi ia memberikan pula tujuan dalam filsafatnya, yaitu perlawanan terhadap hidup itu sendiri. Bukan kah itu termasuk tujuan? Mungkin ini terjawab dari kutipan selanjutnya dari buku Myth of Sisyphus, dimana Camus menulis, kontradiksi harus tetap hidup, alasan dan batasannya harus diakui. “Yang putus asa akan kehidupan adalah pengecut, yang mempunyai harapan adalah bodoh”, tidak ada jalan keluar dari kita — sebagai manusia yang hendak berjalan tapi takut timpang, antara jatuh menjadi pengecut atau orang bodoh.

Premis dari eksistensi kita sendiri sudah kontradiktif karena kita bertanya. Kala kita mempertanyakan eksistensi kita sendiri, disitu lah eksistensi juga digoyahkan.

Camus juga menambahkan, renungan-renungannya mengenai kepercayaan orang. Kepercayaan yang selama ini kita kenal, selalu memberikan harapan untuk hidup kepada kita. Memberikan ilusi yang membuat kita nyaman di tengah kerasnya kenyataan. Tapi banyak orang yang secara paradoks dibunuh oleh ide atau ilusi yang memberikan mereka alasan untuk hidup.

Eubulides dari Miletus pada abad ke-4 SM, menulis tentang suatu paradoks yang dinamakan “Liar Paradox” yang berbunyi,

Pernyataan ini salah.

Dimana paradoksnya? Jika pernyataan ini benar, maka ini sudah pasti salah. Tapi jika pernyataan ini benar, maka sudah pasti benar. Jadi, pernyataan ini sama-sama benar dan salah.

Tetapi menurut beberapa filsuf juga, kontradiksi di kehidupan itu tidak ada. Seperti Ayn Rand — yang ide-idenya meskipun cukup cancelled karena landasan moralnya, penulis akan membahas pernyataannya tentang kontradiksi. Menurutnya, jika kita menemukan suatu kontradiksi, kita harus mengecek kembali premisnya, dan menemukan salah satu diantaranya salah. Untuk sampai pada suatu kontradiksi berarti mengakui kesalahan dalam pemikiran seseorang; mempertahankan kontradiksi berarti melepaskan pikiran seseorang dan mendiskreditkan diri sendiri dari ranah realitas.

Ayn Rand yang notabene seorang filsuf Objektivisme, percaya bahwa realitas eksis sebagai sesuatu yang absolut secara objektif. Fakta adalah fakta dan independen dari perasaan, harapan, dan ketakutan manusia. Reasoning, adalah satu-satunya cara manusia mempersepsikan realitas, sayu-satunya sumber pengetahuan, petunjuk untuk tindakan, dan dasar manusia untuk bertahan hidup.

Berangkat dari konsep Objektivisme ini, apakah mungkin ada kontradiksi yang inheren di alam ‘luar’ persepsi manusia? Atau mungkin hanya persepsi subjektif kita sebagai manusia yang menginterpretasikan kontradiksi? Tentang benda dan alam yang mungkin memiliki sifat asli yang tidak stabil, kontradiktif, dan selalu berubah pernah dibahas juga oleh Heraklitus. Ia percaya bahwa kedua kontradiksi dapat eksis dalam waktu bersamaan. Sedangkan ide lawannya dicetuskan oleh Aristoteles dengan LNC atau Law of Non-Contradiction, pernyataan kontradiktif tidak bisa menjadi benar dua-duanya.

Dan…..

Kalau kita tidak menyetujui hukum ini, maka hukum ini akan menjadi kontradiksi.

--

--