Kapitalisme Kroni di Asia Timur, Budaya, dan Cuap-cuap Kurang Penting

Aurelia Vizal
7 min readMay 26, 2020

Sedari kecil, film-film kesukaan saya selalu melibatkan konflik mafia, bisnis gelap, suap-suapan dengan pemerintah dan aksi laga melompat, baku tembak à la John Woo, serta beladiri keren oleh pemeran utama saat menumpas abang-abangannya si om bos gembil yang mengerinyitkan dahinya tiap mengisap tembakau. Bertahun-tahun saya amat tertarik dengan topik relasi pebisnis besar dengan pemerintah, dan hari ini dengan antusias, seperempat mengantuk ditemani soundtrack dari trilogi Godfather oleh komposer Nino Rota, mari kita jelajahi dunia kroni di Asia Timur, khususnya di Korea dan Jepang.

Saat mendengar orang membicarakan kapitalisme, banyak dari mereka justru malah menjabarkan definisi kapitalisme kroni. Kapitalisme kroni, biasa dijadikan payung untuk terminologi lain seperti nepotisme, favoritisme, preferential treatment, dan masih banyak lagi. Kapitalisme kroni didefinisikan sebagai sistem ekonomi dimana konglomerat-konglomerat mendapat kesuksesan dalam bisnisnya dari kolaborasi dan hubungan erat dengan penguasa (pemerintah, birokrat, dll), hal ini jelas terlihat apabila elit tertentu memiliki privilese dan hak istimewa dalam aktivitas ekonomi dan bisnisnya, hak ini diberikan oleh pemerintah dan negara.

Hal ini tentu tidak sehat dalam iklim pasar dan bisnis, dimana individu atau kelompok lain tanpa privelese seperti ini ruang gerak bisnisnya lebih terbatas dan dikecilkan. Para kroni ini juga bisa memantik monopoli dan oligopoli dalam mendapat kesempatan absolut untuk terlibat dalam proyek besar pemerintah seperti pembangunan jalan tol beserta infrastruktur lain.

Kapitalisme kroni bukan fenomena modern atau yang baru-baru saja terjadi. Kroniisme ini tale as old as time-nya bedes Sapiens. Kroniisme ini tertanam dalam tribalisme yang telah menjadi sistem yang dominan di sejarah manusia. Selama ada pejabat pemerintah, kroniisme akan selalu ada. Selama berabad-abad, kroni yang kuat akan mengaitkan diri kepada politik dan para penguasa, dan para kritikus kroniisme memakai istilah yang berbeda-beda, seperti interest group politics, client politics, iron triangle (Theodore Lowi), revolving doors, capture theory (Stigler) & corporatism (Friedman) dalam Chicago School, juga rent seeking dan rent extraction.

Taksonomi dari kroniisme ini meliputi; (1) privilese ekonomi (franchising, barrier to entry, exclusionary rights), (2) privilese regulasi (lisensi, limits on entry, price/rate guarantees), (3) subsidi, (4) loan guarantees, (5) privilese pajak, (6) bailout- yang nanti akan kita bahas, (7) expected bailout, (8) kuota dan tariff, (9) non competitive bidding, dan (10) berbagai hak istimewa.

Kapitalisme kroni di Asia Timur lebih dari sekadar fenomena ekonomi dan dunia bisnis, melainkan sebuah kultur. Seperti di tahun 80-an dimana model-model kapitalisme kroni ini dianggap sebagi ‘model ekonomi Asia Timur’ yang ideal dalam developmental state. Kultur. Konfusianisme sudah menjadi bagian dalam skema sosio-kultural Asia Timur dari dulu hingga saat ini, terminologi ini tidak hanya merujuk pada ide-ide dari Konfusius itu sendiri melainkan dari ‘rù’ 儒 yang menggabungkan kultur tradisional Tiongkok dengan ajaran Konfusius (Kongzi) dan dikembangkan oleh Mensius (Mengzi), tetapi disini saya akan menggunakan terminologi yang lebih umum dipakai sejak disebut dalam literatur dunia modern.

Konfusianisme yang sudah mendarah daging dapat mengubah karakteristik-karakteristik konfusianisme seperti yang dikutip dari buku Restoring East Asia’s Dynamism, “In other words, family values can easily become nepotism. Consensus could be turned into wheel greasing and corrupt politics. Conservatism can lead to an inability to innovate”, terlebih di Peninsula Korea, dimana konfusianisme masih disebut-sebut sebagai tempat yang paling konfusian di dunia¹ yang menggunakan tradisi kuno untuk perkembangan nasional.

Penerapan prinsip kekeluargaan dalam konfusianisme juga dapat terlihat dalam relas-relasi lain di luar keluarga inti; seperti kaisar yang bertindak sebagai figur ayah yangmenyediakan pangan serta fungsi perlindungan untuk anak-anaknya (read: rakyat), sebagai gantinya, rakyat harus tunduk, patuh, dan menghormati kaisarnya secara utuh, persis relasi orang tua-anak pada kebanyakan keluarga Asia Timur dimana hubungannya sangat kaku dan hierarkial. Selain itu, prinsip kekeluargan ini juga diterapkan dalam bisnis kebanyakan pebisnis Asia Timur, baik bisnis kecil maupun besar. Contohnya, keluarga besar saya; dari om, tante, hingga ayah saya menganggap karyawan sebagai bagian dari keluarga, dan diperlakukan sedemikian rupa.

Mereka juga merasa memiliki tanggung jawab layaknya orang tua dan ikatan personal-emosional untuk kesejahteraan karyawan-karyawannya, ciri khas bisnis kecil Tionghoa, yang bahkan tidak jarang melibatkan karyawan dalam acara-acara keluarga. “Treat employees like family”, kata presiden ketiga Korea Selatan, Park Chung-hee, yang terkenal otoriter dan kebijakan ekonominya yang mengawali pertumbuhan Korea Selatan yang juga akan kita bahas dibawah.

Dalam kroniisme, ada relasi patron-klien yang melibatkan give and take dimana patron memiliki akses politik, ekonomi, administrasi atau birokrasi yang dibutuhkan klien. Dalam relasi ini, klien tidak mendapatkan akses tersebut melalui jalur birokrasi formal, melainkan dari manipulasi relasi personal dengan patron berdasarkan ‘resiprositas’. Relasi ini juga muncul dalam kultur konfusianisme yang kerap menekankan hubungan antar keluarga, interdependensi terhadap relasi social, juga mengenalkan konsep guanxi, sebuah produk dari konfusianisme di Tiongkok, dimana ada dua tipe guanxi; (1) favor-seeking guanxi, dan (2) rent-seeking guanxi ³.

Di Korea Selatan sendiri, chaebol (재벌) merupakan konglomerat dalam industri yang dikontrol oleh keluarga secara turun-temurun. Terdiri dari kata jae (kekayaan atau property) dan beol (faksi atau klan); dibaca ‘bol’ bukan ‘be-ol’, awas ya, dan tentu saja, seperti kebanyakan perempuan lainnya, saya tahu terminologi dan konsep chaebol dari drama Korea.

Terlebih dari plot klise dimana karakter utama pria berwatak congkak, kasar, tapi berwajah tampan dan pewaris tunggal di keluarga chaebol (ditambah bumbu-bumbu seperti masa lalu yang menyakitkan sehingga bisa dijustifikasi apabila karakter pria mulai bertindak semena-mena), lalu ada karakter utama perempuan berwajah lugu, tapi imut, yang juga baik hati, pekerja keras, tahan banting (kadang nangis juga, dan berujung dipeluk atau dicium #pakar), terzolimi, dan tentunya miskin. Untuk lanjutannya bisa ditonton sendiri. Maaf. Kita balik membahas chaebol.

Chaebol dikenal juga sebagai pillar keajaiban ekonomi yang terjadi di Korea Selatan pada ‘Miracle on the Han River’, merujuk pada pertumbuhan pesat dalam sektor ekonomi dan bisnis. Beberapa chaebol yang namanya tidak asing lagi adalah; Samsung- tentunya, LG, Hyundai, SK Group, dan Lotte. Menurut George E. Ogle, sepuluh keluarga chaebol bertanggung jawab untuk 60% pertumbuhan ekonomi Korea Selatan saat ‘Miracle on the Han River’⁴.

Dalam sebuah data yang dikutip dari Council of Foreign Relations (CFR), market capital di Korea Selatan, sebanyak 77% dimiliki oleh perusahaan chaebol, perusahaan non-chaebol hanya memiliki kurang dari seperempat market capital.

Awalnya, counterpart chaebol di Jepang ini dinamakan zaibatsu (財閥). Tapi setelah Perang Dunia kedua usai, mereka digantikan oleh keiretsu. Keiretsu ini sendiri terbagi dua; (1) horizontal, (2) vertikal. Dalam keiretsu horizontal, kita bisa menemui nama-nama perusahaan seperti Fuyo, Sanwa, Sumitomo, Mitsubishi, Mitsui, dan DKB Group. Keiretsu horizontal juga dikenal sebagai keiretsu finansial. Sedangkan dalam keiretsu vetikal atau keiretsu industrial, perusahaan di kategori ini mungkin lebih akrab di telinga, seperti Toyota, Toshiba, dan Nissan.

Bahkan, chaebol dan zaibatsu memiliki karakter mandarin atau hanja yang sama persis, 財閥. Bedanya, hingga saat ini, chaebol masih memiliki peranan yang krusial dalam iklim bisnis serta politik di Korea Selatan, sedangkan keiretsu tidak memiliki peranan yang se-signfikan pendahulunya; zaibatsu.

Saat krisis ekonomi melanda Asia tahun 1997, banyak pihak menyalahkan sistem chaebol ini, dimana sebagian besar utang Korea Selatan terutang oleh chaebol, dan memiliki rasio utang terhadap ekuitas sebesar 400 hingga 1,000 persen. Banyak yang beranggapan bahwa penyebab utama krisis ini di Korea Selatan adalah kekurangan cadangan devisa yang dihisap oleh pinjaman berbunga rendah oleh pemerintah untuk para chaebol yang menjalankan investasi beresiko dan program ekspansi, investasi chaebol ini banyak yang risky karena mungkin mereka mikir, “sans, toh nanti dapet bailout pemerintah ㅋㅋㅋㅋ~ 침착해!”.

Omong-omong soal bailout, ini mirip prinsip ‘privatisasi keuntungan, nasionalisasi kerugian’, atau lemon socialism, atau ‘socialism for the rich, capitalism for the poor’, dimana profitabilitas suatu perusahaan menjadi keuntungan bagi pemilik saham, tapi jika merugi menjadi beban masyarakat. Saat korporasi besar, seperti para chaebol ini merugi atau saat krisis, mereka bisa dapat benefit dari subsidi pemerintah via pembayar pajak dalam bentuk bailout.

Hal ini juga terjadi di Amerika Serikat saat krisis keuangan tahun 2008, dimana perusahaan menerima subsidi pemerintah, sementara 861,000 lebih penduduk AS kehilangan rumahnya. Justifikasi yang biasanya dipakai untuk membenarkan tindakan-tindakan ini adalah, ‘too big to fail’, perusahaan-perusahaan tersebut terlalu besar untuk gagal. Apalagi di Korea Selatan, narasi chaebol sebagai penyelamat ekonomi mereka terus digaungkan pro-chaebol saat ada yang menuntut reformasi sistem chaebol maupun saat mengkritik praktik monopoli dan kroni para chaebol ini.

Hampir dalam setiap kampanye kandidat presiden Korea Selatan dalam dua dekade belakangan ini selalu berjanji untuk reformasi sistem; menuntaskan sistem chaebol yang monopolistik, serta memberikan kesempatan yang sama untuk perusahaan kecil menengah. Mungkin akan amat sulit untuk merealisasikan reformasi yang benar-benar berubah, terstruktur, dan tentunya menyelesaikan masalah puluhan tahun ini, karena campur tangan dan juga kekuatan para chaebol di politik Korea Selatan masih sangat besar. Korupsi dan kejahatan kerah putih masih kerap terjadi dan melibatkan para petinggi chaebol, tapi beberapa masih bisa jalan santai dengan tubuh bebal hukum. Mari kita beli menggelar tikar, mengumpulkan warga sekitar, siap-siap khusyuk, dan suruh Pak RT pimpin doa semoga odong-odong perempatan ga nyerempet i lagi amin.

Sebenarnya, 5 menit yang lalu, saya terpikir sesuatu yang menarik untuk ditulis, sayangnya perut mulai bunyi-bunyi protes. Sekarang pukul tiga pagi, waktu yang pas untuk cari cemilan, melihat langit-langit kamar atau menonton pria-pria dewasa dengan rambut warna-warni dan riasan fondesyen serta gincu pink merah joget-jogetan di layar ponsel. Ya. Betul sekali, waktunya melampiaskan gejolak dan letupan popc- hormon remaja berusia 18 tahun yang direalisasikan melalui tontonan oppa-oppa. Ngomong opo. Sekian dan terima kasih. Saya, Aurelia Vizal, pamit undur diri.

26 Mei 2020, pukul 03:17 WIB. Kondisi ramai lancar dan- netnot, memasuki waktu Indonesia bagian bucin K-pop.

References:

1. Byong-Ik Koh, Confucianism in Contemporary Korea, Confucian Traditions in East Asian Modernity: Moral Education and Economic Culture in Japan and the Four Mini-Dragons, Harvard University Press, Cambridge MA 1996, p. 191

2. Counter-Cultural Paradigmatic Leadership: Ethical Use of Power in Confucian …. by Gary K. G. Choong p.118

3. Entering Guanxi: A Business Ethical Dilemma in Mainland China? By Chenting Su & James E. Littlefield, Journal of Business Ethics, 33, 199–210 (2001)

4. South Korea: Dissent Within the Economic Miracle (1990) by George E. Ogle p.35

5. CFR.org Market capitalisation of Asia300 companies in South Korea

--

--