Autarki Pangan
Semakin dekat ke Pilpres, semakin sering pula kata swasembada pangan didengungkan dalam wacana-wacana kedua calon. Persis seperti apa yang terjadi 4 tahun yang lalu, kedua calon berusaha meyakinkan voters bahwa mereka dapat menjamin swasembada pangan untuk Indonesia.
2014 lalu, saat saya berumur 13 tahun, saya tandai sebagai tahun pertama saya melek politik (thanks to the presidential election). Saya selalu tergugah mendengar mosi swasembada pangan dan kebijakan proteksi industri dalam negeri lainnya. Tidak bisa saya mungkiri, kata swasembada pangan sangat menggugah hati dengan slogan-slogan seperti Berdikari, berdiri di kaki sendiri. Semua dalam nama nasionalisme dan patriotisme.
Seiring bertambahnya usia, pengikut di Instagram, beban hidup, serta pengeluaran, yang pasti bukan jumlah mantan, saya jadi berpikir, mengapa swasembada pangan menjunjung tinggi prinsip independen sedangkan pemerintah mencampuri terlalu banyak di dalamnya, yang malah mendiskreditkan ke-Berdikari-an kebijakan tersebut?
Karena terlalu banyaknya jargon politik yang amat akrab di telinga masyarakat awam yang menyuarakan dependensi rakyat terhadap pemerintah, sekarang pemerintah harus menanggung beban tagihan janji dengan program welfare yang kurang efisien dan mempertebal lingkaran setan welfare state. Apa pun itu adalah salah pemerintah, mental manja ini akibat doktrin pemerintah dalam kampanyenya.
Saya mulai membaca tentang swasembada pangan, kebijakan proteksionis (yang pernah saya bahas di tulisan saya yang sebelumnya), dan mengambil sikap yang berseberangan dengan apa pun yang berhubungan dengan agresi, intervensi, termasuk dalam sektor ekonomi, karena saya menjunjung tinggi prinsip NAP (Non-agression principle).
Terdengarnya indah sekali memang. Indonesia, negara keren Wkwk Land, sebuah negara agraris dengan kekayaan alam yang amat melimpah. Huh, buat apa kita mengimpor beras dan bahan makanan lain dari negara lain yang tidak sebegitu melimpahnya. NKRI HARGA MATI.
Swasembada pangan bisa dikategorikan sebagai Autarki pangan. Banyak negara memiliki kebijakan autarki terkait dengan bahan makanan dan air untuk alasan keamanan nasional. Sebaliknya, autarki mungkin disebabkan oleh isolasi ekonomi atau keadaan eksternal di mana suatu negara atau entitas lain beralih ke produksi lokal ketika tidak memiliki mata uang atau kelebihan produksi untuk berdagang dengan dunia luar.
Metode autarki dipeluk oleh berbagai ideologi dan gerakan politik, sebagian besar dari sayap kiri seperti sosialisme Afrika, mutualisme, sosialisme dewan, sindikalisme (terlebih anarko-sindikalisme), dan populisme kiri. Juga digunakan secara temporer dengan batasan tertentu oleh gerakan nasionalis, konservatif, Restorasi Meiji, Juche, dan konservatisme tradisionalis.
Baru-baru ini, para ahli memperdebatkan apakah Brexit juga termasuk bentuk dari Autarki.
Wacana Swasembada Pangan dalam Politik
Kelebihan dan kekurangan swasembada pangan sebagai tujuan kebijakan nasional telah lama diperdebatkan di kalangan kebijakan internasional.
Seperti yang disebutkan oleh Jennifer Clapp dalam jurnalnya, secara historis, pemerintah memprioritaskan swasembada sebagai sarana utama untuk menjaga keamanan nasional. Kemandirian pangan dapat mengisolasi negara-negara dari gangguan pasokan internasional yang mungkin timbul dalam konteks perang atau ketegangan politik, kekurangan produksi di negara lain, atau kenaikan harga pangan yang tiba-tiba dan tajam (FAO, 1996).
Swasembada pangan juga dilihat oleh banyak negara sebagai tujuan politik yang penting. Tidak hanya sebagai strategi untuk membangun national pride, tetapi juga sebagai sarana untuk mengurangi kerentanan di panggung politik dunia yang berasal dari ketergantungan berlebihan pada negara-negara lainnya untuk pasokan kunci (O’Hagan, 1975: 359).
Beberapa negara juga mempromosikan swasembada pangan sebagai bagian dari strategi pembangunan ekonomi mereka yang lebih luas, dan khususnya untuk memperkuat sektor pertanian domestik mereka.
Persaingan di pasar pangan domestik dan peningkatan ketersediaan pangan dari suplai makanan merekomendasikan membuka pasar pangan hingga impor yang lebih murah. Pemerintah Indonesia sebagian besar mengabaikan pentingnya impor untuk sekuritas pangan, dengan miskonsepsi bahwa kerawanan pangan berasal dari ketergantungan pada impor makanan. Sejumlah undang-undang Indonesia menetapkan bahwa impor hanya diperbolehkan jika suplai domestik tidak cukup, salah satunya adalah UU No. 18 Tahun 2012, Pasal 36.
Tidak ada pemerintah nasional yang berhasil merencanakan produksi dan konsumsi secara akurat untuk seluruh negeri, apalagi sebuah negara dengan populasi yang sangat besar seperti Indonesia. Desakan pemerintah untuk mengendalikan persediaan pasar menyebabkan masalah serius dengan biaya makanan, kualitas dan ketersediaannya.
Di Indonesia sendiri, berbagai kementerian memiliki ide yang berbeda tentang statistik makanan. Departemen Pertanian tidak setuju dengan Statistik Indonesia tentang total luas panen sawah. Kementerian Kelautan dan Perikanan tidak sependapat dengan Departemen Perindustrian tentang jumlah impor garam yang diperlukan.
Beberapa lembaga memiliki angka yang berbeda untuk konsumsi beras per kapita per tahun. Dengan ketidaksesuaian data ini, koordinasi pusat pasokan makanan tidak mungkin dilakukan.
Kuota impor ditetapkan pada beberapa komoditas pangan secara spesifik. Biasanya melibatkan tujuh komoditas pangan, yaitu beras, jagung, kedelai, daging sapi, cabe, gula, dan bawang. Semuanya adalah diet yang krusial untuk masyarakat Indonesia. Dalam sistem kuota ini, perusahaan lokal Indonesia atau beberapa perusahaan lokal ditunjuk sebagai importir untuk komoditas pangan ini.
Harga tujuh komoditas pangan ini cenderung sangat fluktuatif di Indonesia sepanjang tahun karena gangguan supply-demand. Pemerintah Indonesia terutama harus disalahkan atas ketidakstabilan ini karena biasanya bereaksi terlalu lamban dalam hal memperbolehkan impor dalam jumlah yang lebih luas ketika terjadi local scarcity dan kenaikan harga. Reaksi yang lambat ini dapat dikaitkan dengan pemantauan yang lemah dari otoritas pusat, juga karena strategi politik tertentu memperoleh keuntungan finansial dari harga lokal yang lebih tinggi.
Perusahaan-perusahaan lokal Indonesia yang ditunjuk sebagai importir komoditas pangan tertentu (mereka yang punya lisensi impor) mendapatkan peran yang menguntungkan dalam sistem kuota ini, dan karena itu saatnya mereka menggunakan jurus “Pak, hm..
Bukannya apa, ini ada sedikit”, dan membayar sejumlah “dana” kepada pejabat pembuat kebijakan yang dapat memengaruhi keputusan untuk menunjuk suatu perusahaan tertentu. Karena ada kekurangan di pasar domestik untuk suatu komoditas, harga biasanya sudah melonjak secara signifikan sebelum produk impor mulai masuk ke pasar Indonesia. Oleh karena itu, mereka memiliki margin keuntungan yang besar di awal.
Bahkan, dalam beberapa kasus importir yang ditunjuk sengaja menunggu beberapa saat sebelum mendistribusikan produk makanan tertentu (impor) di pasar Indonesia untuk membiarkan harga naik lebih tinggi terlebih dahulu.
Selain bisa memonopoli harga, perusahaan-perusahaan tersebut bisa menunggu beberapa saat sebelum kelangkaan terjadi supaya harga pangan naik. Sekali dayung, dua pulau terlewati. Monopoli, cek. Korupsi, cek.
Fyi, guys. Meskipun digadang-gadang akan membantu petani domestik, kebijakan ini secara statistik belum pernah membuktikan bahwa ia bisa meningkatkan produktivitas petani lokal. Seperti yang pernah dikatakan oleh Mantan Menteri Koordinator Bidang Maritim, Rizal Ramli yang menyatakan bahwa modus permainan dan struktur pasar di Indonesia diciptakan oleh kartel, mulai dari saat panen, mereka menurunkan harga impor sehingga harga petani jatuh. Begitu tidak panen, harga kembali dinaikkan.
“Inilah yang membuat harga-harga pangan dari petani menjadi jatuh. Begitu tidak panen, harga kembali digenjot naik. Jadi petani tidak untung malah buntung. Konsumen menjadi sangat dirugikan. Ini terjadi di banyak komoditas pangan. Kami minta pemerintah benahi sistem kartel ini,” katanya.
Swasembada Pangan dari Sisi Kesehatan
Bagaimanapun, swasembada pangan yang diterapkan tiap-tiap negara juga berbeda. Ada negara yang teguh berpegang pada pendirian bahwa semua jenis pangan harus bersumber dari negara itu sendiri, ada pula yang hanya memberikan batasan terhadap beberapa jenis panganan utama seperti beras, gandum, jagung, dll.
Swasembada pangan total berarti menutup semua akses keluar-masuk atau ekspor-impor pangan di negara tersebut. Kebijakan ekstrem seperti itu kurang praktikal di era modern ini, sama seperti tidak ada negara yang sepenuhnya bergantung pada pasar luar negeri untuk 100% makanan mereka.
Semua negara, bahkan eksportir pangan besar yang cadangan pangannya sepenuhnya mencukupi, biasanya mengimpor setidaknya beberapa makanan. Bahkan Korea Utara, negara yang mungkin memiliki kebijakan paling terisolasi, masih mengandalkan beberapa impor dan bantuan makanan untuk sebagian dari kebutuhan pangan domestiknya (FAO, 2015).
Swasembada pangan bukan gambaran dari sekuritas pangan, although the two can interact in important ways. Konsep sekuritas pangan tidak mempertimbangkan sumber atau kapasitas suatu negara untuk memproduksi pangannya. Selama itu tersedia, aksesibel, bernutrisi, dan stabil. Swasembada pangan lebih terfokus pada pilar ketersediaan (i.e suplai) sekuritas pangan dan mementingkan sumber pangan tersebut, atau kapasitas domestik untuk memproduksi pangan dalam kuantitas yang terbilang cukup.
Beberapa negara yang tergolong memiliki rasio swasembada pangan yang tinggi cenderung memiliki proporsi penduduk yang mengalami kelaparan dan kekurangan gizi, mereka juga memiliki tingkat kemiskinan yang tinggi sehingga menghambat akses yang memadai ke seluruh populasi negara. Padahal yang terpenting bukan sumber pangannya, tapi diet yang seimbang dan bergizi.
Argentina menduduki peringkat pertama sebagai negara dengan rasio swasembada pangan tertinggi, negara ini pernah dikenal sebagai ‘bread basket’-nya Amerika Latin, tetapi kementrian kesehatan Argentina melaporkan bahwa setidaknya 750.000 anak-anak dan remaja dibawah 18 tahun mengalami masalah nutrisi.
Tujuan orang untuk berdagang adalah profit, tetapi penggerak yang lebih besar adalah persaingan. Pada tingkat aktor individu dalam sistem pangan, petani, pengaruh utama perdagangan adalah persaingan. Kompetisi yang mendorong mekanisasi dan transformasi struktural dari sektor pertanian, kompetisi ini yang membuat para petani perlu mengeksternalisasi biaya untuk lingkungan, kepada pekerja atau ternak. Tampaknya, bagi saya, bahwa mengurangi persaingan akan menjadi tujuan penting untuk kebijakan perdagangan pangan.
Kompetisi, keterbukaan pasar, akan membuahkan produksi yang lebih baik. Konsumen bisa membandingkan harga. Daripada swasembada pangan, menetapkan kuota impor dan kebijakan proteksionis yang lain, lebih baik pemerintah lebih menaruh fokus pada stunting dan malnutrisi, di mana prevalensi stunting balita Indonesia tertinggi kedua di ASEAN.
Seperti biasa, saya pamit undur diri dan tulisan ini akan ditutup dengan kutipan. Kali ini kutipan disumbangkan oleh Ludwig von Mises, ekonom mazhab Ekonomi Austria yang mengembangkan metode praksiologj: The philosophy of protectionism is a philosophy of war.